tes

Lipoma

+ No comment yet
Apakah ‘masa keemasan’ dokter Indonesia telah berakhir?
Bila dilihat dari trend yang ada, memang seperti itu kenyataannya..

Beberapa hari ini, komunitas dokter Indonesia seperti tersengat melihat ‘kedzaliman’ Bupati Bulukumba, Sulawesi Selatan..

Bupati Bulukamba berlagak layaknya diktator, memutasi 2 dokter spesialis ke kecamatan karena dituduh menggalang aksi demo dokter dan paramedis di Bulukumba..


Demonya juga bukan tanpa alasan, gaji jasa pelayanan tidak pernah dibayar selama 2 tahun!
Dokter yang dulu begitu dipuja dan dibutuhkan, sekarang bagai komoditas murahan yang bisa dipermainkan..

Kenapa hal ini bisa terjadi?

Bila dianalisa, Ada beberapa hal yang menyebabkan trend ini, diantaranya:

Penyebab pertama : FK baru di Indonesia bagai cendawan di musim penghujan..
Menjamurnya FK baru di Indonesia sudah sangat kelewatan. Hampir semua Universitas membuat FK baru yang kualitasnya layak diragukan terutama berkaitan dengan standar layanan dan pendidikan. Hal ini menjadikan jumlah dokter melimpah dengan kualitas yang diragukan. Sampai bulan ini tercatat lebih dari 70 Fakultas kedokteran sudah berdiri di Indonesia dan menurut kabar akan terus bertambah. Dari jumlah ini, 24 diantaranya Universitas Negeri dan lainnya Universitas swasta.

Kenapa universitas swasta sangat bernafsu membuat FK?

Satu-satunya alasan adalah uang. Perputaran uang di FK swasta sangat besar hingga ratusan juta-milyaran tiap mahasiswanya. Hal ini terjadi karena prestise memiliki gelar ‘dokter’ masih tinggi di masyarakat, sehingga semahal apapun, selama masih sanggup membiayai, orang tua akan memilih memasukkan anaknya ke Fakultas kedokteran, bahkan dengan status ‘terdengar’ sekalipun hehe..

Yang seringkali tidak disadari, sebagaimana hukum ekonomi berlaku, yakni ‘sesuatu yang jumlahnya berlebihan, nilainya pasti turun’..

Penyebab kedua : Jumlah dokter di Indonesia bertambah dengan terlalu cepat.
Hal ini adalah akibat dari terlalu banyaknya FK yang baru dibuka, dan ironisnya rata-rata membuka banyak kursi sekaligus, yakni lebih dari 200 orang. Dengan pertambahan yang signifikan itulah, jumlah dokter yang lulus tiap tahun pada tahun 2015 bisa mencapai 10.000-15.000 dokter pertahun. Padahal menurut data KKI, Pada tahun 2008, jumlah dokter tercatat sekitar 56.750 orang dengan penambahan lebih dari 6000 dokter baru pertahun..

Bila kita asumsikan tiap Fakultas meluluskan 200 dokter tiap tahunnya, sehingga dapat kita perkirakan angka pertumbuhan dokter baru tiap tahun sebanyak 10.000-15.000 orang, maka jumlah dokter pada tahun 2020 -bila kita ambil angka taksiran terendah pertumbuhan dokter pertahunnya 10.000- adalah sekitar 180.000 orang!

Mari kita hitung rasio penduduk dibanding dokter versi WHO, yang menghitung jumlah dokter per 100.000 penduduk. Pada tahun 2008, Singapura menduduki peringkat 1 dunia dgn rasio 180, atau 180 dokter dalam 100.000 penduduk.

Rasio jumlah dokter Indonesia Cuma 24 per 100.000 penduduk, Namun itu dihitung ketika jumlah dokter hanya 56.750 orang!

Yang sangat ngeri, rasio 180 dokter di Singapura itu 75% nya menangani pasien dari negara lain yang sebagian besar adalah orang Indonesia. Jadi bisa kita simpulkan, sebenarnya rasio sekitar angka 50 adalah cukup.  Pada tahun 2020, dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia menjadi 300 juta jiwa dan jumlah dokter 180.000, rasio dokter dibanding penduduk jadi sekitar 60..

Angka 60 rasanya sudah mencukupi untuk ketersediaan dokter di Indonesia..
Tahun 2030? Rasionya jadi sekitar 100 orang dokter per 100.000 penduduk. Dengan rasio ini, agaknya kita membutuhkan pasien dari negara lain seperti dokter di Singapore saat ini..

2040?
2050?

Mungkin kita harus mulai mengekspor dokter atau menarik pasien dari luar negeri..
Kenyataan yang tidak manis, namun harus kita pikirkan..
Bagaimana menurut anda?

Posting Komentar

tes

Entri Populer