tes
Jayalah Dokter Indonesia
Kalau dipikir-pikir, entah sejak kapan masyarakat
menganggap dokter = kaya, dokter = makmur seperti kebanyakan yang
didoktrin kepada kami sebelum memilih jurusan ini ketika akan tamat
bangku sekolah di SMA. Bahwa jadi dokter itu pasti senang, jadi dokter
itu kaya. Sehingga jika ada sedikit saja pembicaraan yang mengarah
kepada tuntutan dokter tentang kesejahteraan dan katakanlah uang
saku/gaji perbulannya yang sangat tidak memadai untuk resiko dan beban
kerja yang dihadapi dokter, masyarakat dan media tanpa ampun langsung
mencemooh dengan kejam, menganggap seakan dokter mata duitan dan tidak
tulus mengabdi.
nah, mari kita bicara terbuka sekarang…http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/05/21/jayalah-dokter-indonesia-557896.html
kita ambil contoh yang paling mudah, dokter PNS. Dokter termasuk pegawai golongan 3B, gaji pokok Rp 2.2 juta plus tunjangan fungsional Rp 300ribu, total Rp 2.6 juta tanpa tunjangan lain yang seharusnya berkaitan dengan resiko profesi. Dokter disama-ratakan dengan PNS bidang lain, yang tidak harus siap sedia 24jam tanpa kecuali, diluar jam kerja karena bisa sewaktu-waktu dipanggil lagi karena ada pasien gawat atau bencana alam ataupun visum, tidak harus masuk piket kerja saat hari raya, tidak terpapar berbagai penyakit mulai dari yang ringan semisal flu sampai yang terberat seperti hepatitis B ataupun HIV. Juga tidak perlu kuatir membawa penyakit2 tersebut ke rumah dalam jangkauan keluarga tercinta, tidak perlu stres karena tiap saat harus terancam resiko malpraktek yang minimal tuntutannya hingga Rp 500juta. Dengan gaji RP 2.6 juta/bulan, mau lunas kapaaan??
tidak ada tunjangan khusus untuk resiko berbagai macam penyakit, tidak ada asuransi khusus untuk dokter, tidak ada sertifikasi, tidak ada remunerasi. Jangan heran kalau anda semua lihat jika ke puskesmas, lebih banyak “bu dokter” daripada “pak dokter”. Saat tuntutan hidup begitu tinggi, sulit sekali bagi “pak dokter” yang notabene penanggungjawab keluarga untuk tetap “mengabdi” sedangkan ada anak istri yang perlu dicukupi kebutuhannya, ada pendidikan anak yang perlu dipikirkan juga. Mungkin “pak dokter” lebih memilih untuk bekerja di swasta atau meneruskan pendidikannya di jenjang spesialis. Padahal kenyataan pilihan spesialis tersebut pun belum pasti menjadi jalan keluar yang lebih mudah.
dokter mau kerja di swasta?? Sayang sekali, pilihan ini pun tidak selalu bersahabat. Uang duduk di klinik 24 jam rata-rata Rp 100ribu/24 jam, jasmed (jasa medis) Rp 1000/pasien. Tapi jangan dikira yang namanya “uang duduk”, itu berarti kita duduk-duduk saja di klinik sambil ngemil pisang goreng. OOOO tidaak… 24 jam itu betul-betul kerja dan tindakan. Kerja dan tindakan. Kalau dipikir-pikir jasa medis Rp 1000/pasien, mending jaga parkiran motor di depan klinik. Itupun cuma perlu ada saat yang punya motor datang lagi untuk ngambil motornya, plus modal sebuah peluit. Tidak perlu modal belajar “sepanjang hayat”, tidak perlu ada rasa dihantui bayangan tuduhan malpraktek oleh masyarakat dan media yang terkadang sok tahu tapi tidak pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya, apa patofisiologi yang terjadi.
Kerja di rumah sakit swasta, terbentur dengan tidak
adanya jaminan kesehatan, rata-rata hanya mengontrak dokter tanpa
diasuransikan kesehatan, jadi dokter yang terpapar begitu banyak
penyakit dan beban kerja yang tinggi harus selalu menjaga kesehatannya.
Kalau lagi sial kena penyakit, ya itu derita ditanggung sendiri,
ujung-ujungnya bangkrut karena duit tidak cukup bahkan untuk mengobati
diri sendiri. DKK, Dokter klinik ke klinik, “ngamen”, akhirnya seperti
itulah nasib dokter di sector swasta.
Sekolah lagi?? Hahaha, jalan begitu panjaaaang
dalam pendidikan dokter umum, 6 tahun lamanya digembleng, toh hasil nya
bahkan lebih rendah dibandingkan sopir bus transjakarta. Sabar kalian
bilang?? Tidak usah gunakan kata sabar dan mengabdi kepada kami.
Kata-kata itu sudah begitu setia menjadi bagian dari kehidupan dokter
dan paramedis. Kalau tidak, sudah sedari dulu kami “mogok”. Begitu tidak
adilnya pemenuhan kesejahteraan bagi kami para dokter dan paramedis.
Bahkan ditambah lagi dengan pejabat pemerintah dan anggota DPR yang
terhormat yang semena-mena mencemooh kerja keras dan kerja bakti kami,
ditambah lagi pemberitaan media yang jelas-jelas lebih senang menjual
berita negative tentang dokter-paramedis dibanding sebegitu banyak
positif nya. Buruh tidak digaji dibilang perbudakan, dokter tidak digaji
itu pengabdian. Pernahkah ada yang tahu banyak dokter yang PTT didaerah
terpencil, rela bekerja tanpa digaji. Ada satu cerita, teman sejawat
saya yang PTT di daerah pedalaman. Walaupun hari sudah malam dini hari,
tetap memenuhi panggilan keluarga pasien, yang memaksa si dokter untuk
melihat keluarganya yang sakit. Setiba di rumah tujuan, si sakit yang
dimaksud tadi hanyalah gatal2 dan menurut hemat keluarga pasien, itu
adalah penyakit yang harus diobati saat itu juga. Dalam perjalan pulang,
sang dokter mengalami kecelakaan patah tungkai bawah, karena
mengendarai motor dalam keadaan hujan dan jalan yang licin dan berlumpur
(mengingat tempat tugas di daerah pedalaman dan belum begitu banyak
akses jalan yang bagus). Dan karena tidak ada biaya, terpaksa memutuskan
rawatan dirumah. Pernahkan media memberitakan hal demikian?? Pernahkah
masyarakat membaca hal yang demikian?? Masyarakat pun seolah dibutakan
oleh janji-janji manis para pemimpin yang seolah-olah menggratiskan
biaya kesehatan, padahal nyatanya anggaran kesehatan tidak pernah
dinaikkan. Akibatnya dokter-paramedis-manajemen puskesmas dan rumah
sakit yang selalu dijadikan kambing hitam.
dokter internship hanya digaji Rp 1.2 juta / bulan. Mereka disebar
diberbagai penjuru negeri hanya dengan uang hidup Rp 1.2 juta yang
pembayarannya dirapel per tiga bulan tanpa uang kost-uang makan-uang
transport. Semua dipukul rata 1.2 juta per orang tanpa melihat dimana
dia ditugaskan. Tanpa melihat gimana beban ekonomi di tempat dokter
internship ditugaskan. Miris rasanya saat mendengar ada dokter
internship yang harus kerja part time di swalayan 24 jam ind*mar*t
menjadi kasir. Astagfirullah, ini bukan pengabdian.. sungguh… Ketika
saya menceritakan ini ke sensei di Jepang, mereka terkejut dan balik
bertanya, kalau memang begitu, bagaimana caranya si dokter tadi bisa
fokus untuk kesembuhan pasien?? Bagaimana caranya si dokter bisa full
menunaikan kewajibannya, memberikan pelayan maksimal untuk pasien??Jadi spesialis??
pernah tahu jasa medis untuk seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan untuk operasi SC (Sectio cesarea) dengan resiko 2 nyawa, ibu dan anak?? Hanya Rp 80 ribu per operasi. Sama seperti biaya masang kaca spion di bengkel mobil. How come?? Yang ditangani ini manusia, bukan mobil. Belum operasi lain semisal laparotomy Rp 100ribu, tonsilektomi Rp 10 ribu. Itu semua sampai kapanpun gak akan pernah bisa membayar kalau suatu saat terkena tudingan malpraktek.
jadi kawan, mohon jangan cemooh kami jika ada dokter-dokter yang terpaksa turun di jalan demi memperjuangkan ketidakadilan ini. Dokter bukanlah dewa, bukan juga makhluk suci. Dokter hanyalah manusia biasa yang memiliki dapur yang harus terus mengepul , memiliki anak istri yang harus dinafkahi, memiliki cita-cita untuk memberi pendidikan yang baik dan layak untuk anak-anaknya. Banyak masyarakat yang bilang dokter Indonesia tidak piawai, tidak peka, tidak mau mendengar keluh kesah pasien. Tidak seperti dokter di negeri tetangga yang begitu baik dan mau mendengar. Apakah masyarakat tahu, disaat yang bersamaan, si dokter sedang pusing memikirkan bagaimana mencari tambahan nafkah di tempat lain,harus memikirkan nafkah anak istrinya dirumah, harus bisa menjamin pendidikan anaknya. Dokter dinegeri tetangga tidak perlu memikirkan tetek-bengek seperti itu, karena semua sudah ditanggung negara. Dan akhirnya mereka bisa full dalam melayani pasien, mendengarkan keluh kesah pasien.
Tidak bisa dipungkiri juga ada beberapa TS dokter
yang bisa anda lihat berkebalikan dengan fakta-fakta yang ada, tapi itu
semua hanyalah puncak gunung es. Yap, jauh lebih banyak lagi TS dokter
yang hidupnya betul-betul “MENGABDI”.
kami sadar, inilah profesi yang telah kami pilih. Harapan kami supaya
para petinggi negeri ini, yang duduk di kursi terhormat sana, bisa
memikirkan nasib dan kesejahtraan para dokter Indonesia. Bukan demi
hidup materialistis, tapi demi hidup yang layak. Sehingga bisa full
memberikan pelayanan terbaik yang kami bisa untuk masyarakat.
Eijiro Sugiyama Edison MD
Division of Cardiovascular Medicine
Jichi Medical University Tochigi Japan
Jichi Medical University Tochigi Japan
Dokter Internship RSUD Pariaman
Dokter Internship puskesmas Naras
Pariaman- 2010
FK Unand 2004
Dokter Internship puskesmas Naras
Pariaman- 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
tes
Entri Populer
-
Apakah ‘masa keemasan’ dokter Indonesia telah berakhir? Bila dilihat dari trend yang ada, memang seperti itu kenyataannya.. Beberapa hari...
-
Kalau dipikir-pikir, entah sejak kapan masyarakat menganggap dokter = kaya, dokter = makmur seperti kebanyakan yang didoktrin kepada kami...